Rabu, 15 Mei 2013

●perkataan Ulama syafi'iyah tenatang wajibnya mengikuti salaf, dan tidak boleh menyelisihinya●


■ Para ulama ahlussunnah wal jamaah,
apapun madzhab fiqih yang mereka
tempuh dalam jenjang berusaha
mempelajari dan memahami ahkam
syariat, tetap mengikuti madzhab salaf.
Begitu juga dengan para ulama madzhab
syafiiyah yang memang berada di atas
manhaj ahlussunnah wal jamaah. Beda
dengan orang-orang yang mengaku
bermadzhab syafii, tetapi mereka
beragama dengan berlandaskan ilmu
kalam mantiq dan pemahaman tasawwuf
sufi. Banyak ucapan para ulama syafiiyah
yang mengajak untuk mengikuti madzhab
salaf dan mewajibkannya. Demikian ini
akan kami bawakan perkataan-perkataan
para ulama syafiiyah tentang wajibnya
mengikuti madzhab salaf (salafiy).
Perkataan para ulama syafiiyah
Al-Imam Abu Ismail Utsman Ash-Shobuni
Asy-Syafii rahimahullah (- 449 H) berkata
dalam awal risalahnya:
ﺳﺄﻟﻨﻲ ﺇﺧﻮﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻥ ﺃﺟﻤﻊ ﻟﻬﻢ ﻓﺼﻮﻻ ﻓﻲ ﺃﺻﻮﻝ
ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺘﻲ ﺍﺳﺘﻤﺴﻚ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻀﻮﺍ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺪﻳﻦ
ﻭﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ، ﻭﻫﺪﻭﺍ ﻭﺩﻋﻮﺍ ﺍﻟﻨﺎﺱ
ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺣﻴﻦ، ﻭﻧﻬﻮﺍ ﻋﻤﺎ ﻳﻀﺎﺩﻫﺎ ﻭﻳﻨﺎﻓﻴﻬﺎ ﺟﻤﻠﺔ
ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺍﻟﻤﺼﺪﻗﻴﻦ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ، ﻭﻭﺍﻟﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﺗﺒﺎﻋﻬﺎ ﻭﻋﺎﺩﻭﺍ
ﻓﻴﻬﺎ، ﻭﺑﺪﻋﻮﺍ ﻭﻛﻔﺮﻭﺍ ﻣﻦ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻭﺃﺣﺮﺯﻭﺍ ﻷﻧﻔﺴﻬﻢ
ﻭﻟﻤﻦ ﺩﻋﻮﻫﻢ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺑﺮﻛﺘﻬﺎ ﻭﺧﻴﺮﻫﺎ، ﻭﺃﻓﻀﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻗﺪﻣﻮﻩ
ﻣﻦ ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻫﻢ ﻟﻬﺎ، ﻭﺍﺳﺘﻤﺴﺎﻛﻬﻢ ﺑﻬﺎ، ﻭﺇﺭﺷﺎﺩ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ
ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻭﺣﻤﻠﻬﻢ ﺇﻳﺎﻫﻢ ﻋﻠﻴﻬﺎ ،
“Aku diminta oleh saudara-saudaraku
seagama untuk mengumpulkan bagi
mereka fasal-fasal tentang ushuluddin
(keyakinan, aqidah, i’tiqod) yang dipegang
teguh oleh para imam agama dan ulama
kaum muslimin serta para salaf yang
shalih, dan mereka memberi petunjuk dan
mengajak orang-orang kepadanya dalam
semua kesempatan, dan melarang dari
yang berlawanan dan bertentangan
dengannya, sekumpulan kaum mukminin
yang membenarkan dan bertaqwa. Mereka
loyal dalam mengikutinya dan memusuhi
(orang yang menyelisihinya) dalam
masalah itu. Mereka membid’ahkan dan
mengkufurkan orang yang meyakini
selainnya. Mereka memelihara berkah dan
kebaikannya bagi diri mereka sendiri dan
orang-orang yang mereka ajak kepada
ushuluddin ini. Mereka telah mencapai
pahala keyakinan mereka, sikap mereka
berpegang teguh dengannya, memeri
petunjuk manusia kepadanya dan
kesabaran mereka terhadap balasan
manusia di atas aqidah itu.”
Kesimpulan:
a.) Para salaf shalih dan para ulama
kaum muslimin dulu mengajak manusia
kepada aqidah salaf dalam setiap waktu
dan melarang dari yang menyelisihinya.
b.) Mereka –para ulama dan salaf shalih-
loyal kepada orang yang mengikuti aqidah
salaf dan memusuhi orang yang
sebaliknya.
c.) Mereka –para ulama dan salaf shalih-
membid’ahkan dan mengkufurkan orang
yang meyakini selain aqidah salaf.
d.) Dulu, kaum muslimin sangat perhatian
dengan aqidah salaf, sehingga mereka
bertanya kepada Imam Abu Utsman Ash-
Shabuni tentang aqidah salaf untuk
mereka pegang.
2. Al-Imam Al-Mawardi Asy-Syafii
rahimahullah (-450 H) di dalam Al-Hawi Fi
Fiqhi Asy-Syafii (2/523): Beliau
membawakan pendapat Imam Asy-Syafii
tentang doa istisqa’ (minta hujan) yang
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kemudian Imam Asy-Syafii
berkata:
ﻭَﺃُﺣِﺐُّ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﻌَﻞَ ﻫَﺬَﺍ ﻛُﻠَّﻪُ ﻭَﻟَﺎ ﻭَﻗْﺖَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﻟَﺎ ﻳُﺠَﺎﻭِﺯَ .
“Aku suka hendaknya dia melakukan
semua ini dan tidak ada waktu dalam doa
yang dia tidak boleh melampauinya.”
Kemudian Al-Imam Al-Mawardi
memberikan komentar:
ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻤُﺨْﺘَﺎﺭُ ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻣَﺮْﻭِﻱٌّ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ
ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻣَﻨْﻘُﻮﻝٌ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ ﺭَﺿِﻲَ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ .
“Dan ini seperti yang beliau katakan. Itulah
pendapat yang dipilih, karena itu yang
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan dinukilkan dari salaf shalih
radhiyallahu ‘anhum.”
Kesimpulan:
a.) Dalam berpendapat, Imam Syafii
berijtihad dengan dalil yang sampai
kepada beliau dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Tidak berbicara dalam
masalah agama tanpa dalil yang dijadikan
landasan pendapat.
b.) Pendapat yang ada dalilnya dan
mencocoki pendapat salaf itulah yang
dipilih. Di sini ada isyarat bahwa pendapat
salaf itulah yang diikuti dan dijadikan
rujukan.
3. Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah
(384-458 H) dalam menetapkan sifat Allah
bahwa dia mengatakan:
“ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻭﺻﻔﻪ – ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ – ﺇﻻّ ﺑﻤﺎ ﺩﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﺃﻭ ﺃﺟﻤﻊ
ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠﻒ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ ”
“Tidak boleh mensifati Allah subhanahu wa
ta’ala kecuali dengan yang ditunjukkan
oleh Kitabullah atau sunnah rasul-Nya
atau ijma’ salaf ummat ini.”
Kesimpulan:
a.) Dalam masalah asma wa sifat Allah,
kita juga berhujjah dengan Al-Qur’an, As-
Sunnah dan ijma’ salaf. Karena madzhab
salaf itulah yang seharusnya diikuti.
b.) Beriman dengan Asma’ wa sifat Allah
termasuk beriman dari rukun iman
pertama, yaitu iman kepada Allah.
c.) Salaf adalah panutan dalam
beragama.
d.) Imam Al-Baihaqi tidak membolehkan
seseorang untuk beraqidah selain yang
dipegangi salaf.
3. Perkataan Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullah (384-458 H) sebagaimana
dinukil Imam An-Nawawi dalam
Khulashoh Al-Ahkam (1/462-463):
ﻭَﺭَﻭَﻯ ﺍﻟْﺒَﻴْﻬَﻘِﻲّ ﺑِﺈِﺳْﻨَﺎﺩِﻩِ ، ﻋَﻦ ﺍﺑْﻦ ﺍﻟْﻤُﺒَﺎﺭﻙ ﺃَﻧﻪ ﺳُﺌﻞ ﻋَﻦ
ﻣﺴﺢ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪ ﺇِﺫﺍ ﺩَﻋَﺎ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥ ؟ ﻗَﺎﻝَ : ” ﻟﻢ ﺃﺟﺪ ﻟَﻪُ ﺛﺒﺘﺎً ،
ﻭَﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﺮﻓﻊ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ” . ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺒَﻴْﻬَﻘِﻲّ : ” ﻟﺴﺖ ﺃﺣﻔﻆ ﻓِﻲ
ﻣﺴﺢ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪ ﻫُﻨَﺎ ﻋَﻦ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴّﻠﻒ ﺷَﻴْﺌﺎ . ﻗَﺎﻝَ :
ﻭَﺍﺧْﺘﻠﻔُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀ ﺧَﺎﺭﺝ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓ ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﺄَﻣﺎ
ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓ ﻓَﻬُﻮَ ﻋﻤﻞ ﻟﻢ ﻳﺜﺒﺖ ﻓِﻴﻪِ ﺧﺒﺮ ، ﻭَﻟَﺎ ﺃﺛﺮ ، ﻭَﻟَﺎ
ﻗِﻴَﺎﺱ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﻔﻌﻞ ، ﻭﻳﻘﺘﺼﺮ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻓﻌﻠﻪ ﺍﻟﺴّﻠﻒ ﻣﻦ ﺭﻓﻊ
ﺍﻟْﻴَﺪَﻳْﻦِ ﺩﻭﻥ ﺍﻟْﻤﺴْﺢ ” ﻫَﺬَﺍ ﻛَﻠَﺎﻡ ﺍﻟْﺒَﻴْﻬَﻘِﻲّ .
ﻭَﺃﻣﺎ ﺣَﺪِﻳﺚ ﻋﻤﺮ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪ : ” ﺃَﻥ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢ َ ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫﺍ ﺭﻓﻊ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀ ﻟﻢ ﻳﺤﻄﻬﻤﺎ ﺣَﺘَّﻰ
ﻳﻤﺴﺢ ﺑﻬﻤﺎ ﻭَﺟﻬﻪ ” ﻓَﺮَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱّ . ﻭَﻗَﺎﻝَ : ” ﺣَﺪِﻳﺚ
ﻏَﺮِﻳﺐ ، ﺍﻧْﻔَﺮﺩ ﺑِﻪِ ﺣَﻤَّﺎﺩ ﺑﻦ ﻋِﻴﺴَﻰ ، ﻭَﺣَﻤَّﺎﺩ ﻫَﺬَﺍ ﺿَﻌِﻴﻒ ”
ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺪِﻳﺚ ﺿَﻌِﻴﻒ .
[Al-Baihaqi meriwayatkan dengan
sanadnya dari Ibnul Mubarok, bahwa dia
ditanya tentang mengusap wajah ketika
seseorang berdoa. Maka dia menjawab:
“Aku tidak mendapati hal itu tsabit, dan
hendaknya dia tidak mengangkat kedua
tangannya.” Al-Baihaqi berkata: “Aku tidak
menghapal sesuatupun di sini dari salah
seorang salaf tentang mengusap wajah...
Para ulama telah berbeda pendapat
tentang hal itu dalam doa di luar sholat ...
Adapun di sholat, maka itu adalah amalan
yang tidak tsabit sebuah hadits
tentangnya, tidak pula sebuah atsar
(riwayat shohabat dan setelahnya) dan
tidak pula qiyas, maka tidak bisa
dilakukan. Dan hendaknya mencukupkan
diri sebagaimana yang dilakukan oleh
salaf berupa mengangkat kedua tangan
tanpa mengusap wajah.” Demikian ucapan
Al-Baihaqi.
Al-Imam An-Nawawi melanjutkan: Adapun
hadits Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dulu jika
mengangkat kedua tangannya dalam dia,
beliau tidak menaruhnya sampai beliau
mengusap wajahnya dengan keduanya.
Maka ini diriwayatkan oleh Imam At-
Tirmidzi, dia berkata: “Hadits ghorib,
Hammad bin Isa meriwayatkan sendirian
dan dia dho’if.” Maka hadits ini dho’if.]
Kesimpulan:
a.) Mengikuti madzhab salaf dalam
masalah ibadah, seperti ibadah sholat.
b.) Tidak berpendapat dengan sesuatu
amalan yang tidak ada dalilnya, baik dari
al-qur’an atau hadits dan ijma’ salaf.
c.) hadits tentang mengusap wajah setelah
berdoa dengan kedua tangan adalah
dho’if. Sehingga hal itu tidak diamalkan.
d.) Imam Al-Baihaqi dan Imam An-
Nawawi ketika berpendapat berusaha
mengikuti dalil dan madzhab salaf.
Bagaimana dengan kaum muslimin
sekarang yang mengaku bermadzhab
syafii? Banyak orang yang tidak mengenal
madzahab salaf yang sesungguhnya
bahkan malah mencela madzhab salaf.
Mereka menggolongkan para teroris
sebagai seorang salaf. Ini adalah sebuah
kejahatan kepada para salaf.
4. Imam Al-Haramain Abul Ma’ali
rahimahullah (419-478 H) sebagaimana
dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari (13/349-350):
“ ﺭﻛﺒﺖ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﺍﻷﻋﻈﻢ، ﻭﻏﺼﺖ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﻧﻬﻰ ﻋﻨﻪ
ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﺮﺍﺭﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻘﻠﻴﺪ ﻭﺍﻵﻥ ﻓﻘﺪ
ﺭﺟﻌﺖ ﻭﺍﻋﺘﻘﺪﺕ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺴﻠﻒ “
“Aku telah mengarungi samudra yang
terbesar, dan aku telah menyelami segala
sesuatu yang dilarang oleh para ulama,
untuk mencari kebenaran, lari dari taqlid.
Sekarang aku telah kembali dan meyakini
madzhab salaf.”
Kesimpulan:
- Tempat kembali dalam memahami
agama yang benar adalah dengan
mengikuti madzhab salaf.
5. Imam An-Nawawi rahimahullah
(631-676 H) dalam Muqaddimah Al-
Majmu 1/27 ketika menceritakan tentang
Kitab beliau Al-Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab mengatakan:
ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﻣَﻌْﺮِﻓَﺔَ ﻣَﺬَﺍﻫِﺐِ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒِ ﺑِﺄَﺩِﻟَّﺘِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﻫَﻢِّ ﻣَﺎ
ﻳُﺤْﺘَﺎﺝُ ﺇﻟَﻴْﻪِ ..… ﻭَﺑِﺬِﻛْﺮِ ﻣَﺬَﺍﻫِﺒِﻬِﻢْ ﺑِﺄَﺩِﻟَّﺘِﻬَﺎ ﻳَﻌْﺮِﻑُ ﺍﻟْﻤُﺘَﻤَﻜِّﻦُ
ﺍﻟْﻤَﺬَﺍﻫِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻬَﺎ، ﻭَﺍﻟﺮَّﺍﺟِﺢَ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻤَﺮْﺟُﻮﺡِ، ﻭَﻳَﺘَّﻀِﺢُ ﻟَﻪُ،
ﻭَﻟِﻐَﻴْﺮِﻩِ ﺍﻟْﻤُﺸْﻜِﻠَﺎﺕُ، ﻭَﺗَﻈْﻬَﺮُ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺋِﺪُ ﺍﻟﻨَّﻔِﻴﺴَﺎﺕُ، ﻭَﻳَﺘَﺪَﺭَّﺏُ
ﺍﻟﻨَّﺎﻇِﺮُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺑِﺎﻟﺴُّﺆَﺍﻝِ، ﻭَﺍﻟْﺠَﻮَﺍﺏِ، ﻭَﻳَﺘَﻔَﺘَّﺢُ ﺫِﻫْﻨُﻪُ، ﻭَﻳَﺘَﻤَﻴَّﺰُ ﻋِﻨْﺪَ
ﺫَﻭِﻱ ﺍﻟْﺒَﺼَﺎﺋِﺮِ، ﻭَﺍﻟْﺄَﻟْﺒَﺎﺏِ، ﻭَﻳَﻌْﺮِﻑُ ﺍﻟْﺄَﺣَﺎﺩِﻳﺚَ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴﺤَﺔَ ﻣِﻦْ
ﺍﻟﻀَّﻌِﻴﻔَﺔِ، ﻭَﺍﻟﺪَّﻟَﺎﺋِﻞَ ﺍﻟﺮَّﺍﺟِﺤَﺔَ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻤَﺮْﺟُﻮﺣَﺔِ ، …
“Ketahuilah bahwa mengenal madzhab-
madzhab salaf dengan dalil-dalilnya
termasuk perkara yang dibutuhkan … dan
dengan menyebutkan madzhab-madzhab
mereka dengan dalil-dalilnya, orang yang
mapan akan mengetahui madzhab-
madzhab itu sesuai dengan kedudukannya
yang sesuai, mengetahui pendapat yang
rojih (kuat) dari yang lemah, perkara-
perkara yang rumit akan menjadi jelas
bagi dia dan orang lain, akan nampak
faedah-faedah berharga, dan orang yang
memperhatikannya akan terlatih dengan
soal jawab, akalnya akan terbuka, dan dia
akan mempunyai keistimewaan di sisi
orang-orang yang berakal. Dia juga akan
mengetahui hadits-hadits yang shohih dari
hadits yang dho’if, mengetahui dalil yang
kuat dari yang lemah. …”
6. Al-Imam Adz-Dzahaby rahimahullah
(673 – 748 H) berkata dalam kitab beliau
Siyar A’lam An-Nubala (13/380):
ﺍﻻﻣﺎﻧﺔ ﺟﺰﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ، ﻭﺍﻟﻀﺒﻂ ﺩﺍﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺬﻕ، ﻓﺎﻟﺬﻱ
ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺗﻘﻴﺎ ﺫﻛﻴﺎ، ﻧﺤﻮﻳﺎ ﻟﻐﻮﻳﺎ، ﺯﻛﻴﺎ
ﺣﻴﻴﺎ، ﺳﻠﻔﻴﺎ، ﻳﻜﻔﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻜﺘﺐ ﺑﻴﺪﻩ ﻣﺌﺘﻲ ﻣﺠﻠﺪ، ﻭﻳﺤﺼﻞ
ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻭﺍﻭﻳﻦ ﺍﻟﻤﻌﺘﺒﺮﺓ ﺧﻤﺲ ﻣﺌﺔ ﻣﺠﻠﺪ، ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﻔﺘﺮ ﻣﻦ
ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻤﺎﺕ، ﺑﻨﻴﺔ ﺧﺎﻟﺼﺔ ﻭﺗﻮﺍﺿﻊ، ﻭﺇﻻ ﻓﻼ
ﻳﺘﻌﻦ .
“Amanah merupakan bagian dari agama
dan hafalan bisa masuk kepada
kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh
seorang hafizh adalah: Dia harus seorang
yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan
bahasa, bersih hatinya, senantiasa
bersemangat, seorang salafy (orang yang
mengikuti madzhab salaf), cukup bagi dia
menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid
buku hadits dan memiliki 500 jilid buku
yang dijadikan pegangan dan tidak putus
semangat dalam menuntut ilmu sampai
dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan
dengan sikap rendah diri. Kalau tidak
memenuhi syarat-syarat ini maka
janganlah kamu berharap”.
Beliau menyebautkan bahwa diantara
syarat untuk menjadi seorang al-hafidz,
adalah dia seorang salafi, seorang yang
mengikuti madzhab salaf.
7. Ibnu Hajar Al-’Asqolani Asy-Syafii
rahimahullah (773-852 H) berkata dalam
Fathul Bari:
ﻭﻣﻤﺎ ﺣﺪﺙ ﺃﻳﻀﺎً ﺗﺪﻭﻳﻦ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺪﻳﺎﻧﺎﺕ
ﻓﺘﺼﺪﻯ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻤﺜﺒﺘﺔ ﻭﺍﻟﻨﻔﺎﺓ، ﻓﺒﺎﻟﻎ ﺍﻷﻭﻝ ﺣﺘﻰ ﺷﺒﻪ، ﻭﺑﺎﻟﻎ
ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺣﺘﻰ ﻋﻄﻞ، ﻭﺍﺷﺘﺪ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻟﺬﻟﻚ ﻛﺄﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ،
ﻭﺃﺑﻲ ﻳﻮﺳﻒ، ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ . ﻭﻛﻼﻣﻬﻢ ﻓﻲ ﺫﻡ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﻼﻡ
ﻣﺸﻬﻮﺭ . ﻭﺳﺒﺒﻪ ﺃﻧﻬﻢ ﺗﻜﻠﻤﻮﺍ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻜﺖ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ.
ﻭﺛﺒﺖ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻷﻫﻮﺍﺀ ﻳﻌﻨﻲ ﺑﺪﻉ
ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ، ﻭﺍﻟﺮﻭﺍﻓﺾ، ﻭﺍﻟﻘﺪﺭﻳﺔ.
ﻭﻗﺪ ﺗﻮﺳﻊ ﻣﻦ ﺗﺄﺧﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺮﻭﻥ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﺍﻟﻔﺎﺿﻠﺔ ﻓﻲ
ﻏﺎﻟﺐ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻧﻜﺮﻫﺎ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭﺃﺗﺒﺎﻋﻬﻢ .ﻭﻟﻢ
ﻳﻘﺘﻨﻌﻮﺍ ﺑﺬﻟﻚ ﺣﺘﻰ ﻣﺰﺟﻮﺍ ﻣﺴﺎﺋﻞ ﺍﻟﺪﻳﺎﻧﺔ ﺑﻜﻼﻡ ﺍﻟﻴﻮﻧﺎﻥ،
ﻭﺟﻌﻠﻮﺍ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻔﻼﺳﻔﺔ ﺃﺻﻼً ﻳﺮﺩﻭﻥ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﺎ ﺧﺎﻟﻔﻪ ﻣﻦ
ﺍﻵﺛﺎﺭ ﺑﺎﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﻭﻟﻮ ﻣﺴﺘﻜﺮﻫﺎً.
ﺛﻢ ﻟﻢ ﻳﻜﺘﻔﻮﺍ ﺑﺬﻟﻚ ﺣﺘﻰ ﺯﻋﻤﻮﺍ ﺃﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺮﺑﻮﻩ ﻫﻮ
ﺃﺷﺮﻑ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻭﺃﻭﻻﻫﺎ ﺑﺎﻟﺘﺤﺼﻴﻞ، ﻭﺃﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻌﻤﻞ ﻣﺎ
ﺃﺻﻄﻠﺤﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻋﺎﻣﻲ ﺟﺎﻫﻞ، ﻓﺎﻟﺴﻌﻴﺪ ﻣﻦ ﺗﻤﺴﻚ ﺑﻤﺎ
ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ، ﻭﺍﺟﺘﻨﺐ ﻣﺎ ﺃﺣﺪﺙ ﺍﻟﺨﻠﻒ “
“Dan termasuk yang terjadi juga adalah
penyusunan buku tentang pendapat dalam
masalah akidah, sampai kelompok yang
menetapkan sifat Datang dan kelompok
yang meniadakannya memasukinya. Yang
pertama berlebihan sampai melakukan
tasybih, yang kedua berlebihan sampai
menolak sama sekali. Dan sangat keras
pengingkaran salaf terhadap hal itu, seperti
Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy-Syafii.
Ucapan mereka dalam mencela ahlul
kalam sangatlah terkenal. Sebabnya
karena orang-orang itu berbicara tentang
perkara yang didiamkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shohabatnya. Dan telah datang dari Imam
Malik bahwa tidak ada pada masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr,
Umar sedikitpun dari al-hawa (bid’ah),
yakni bid’ah-bid’ah khowaroj, syiah
rofidhoh dan qodariyah.
Orang-orang yang datang setelah tiga
generasi (awal) yang utama dalam
keumuman perkara yang diingkari oleh
para imam tabiin dan tabiut tabiin. Orang-
orang itu tidak merasa cukup dengan hal
itu sampai mencapurkan antara
permasalahan-permasalahan agama
dengan ucapan-ucapan yunan, dan
menjadikan perkataan ahli filsafat sebagai
dasar kembalinya atsar-atsar yang
menyelisihinya dengan cara mentakwilnya,
meskipun dengan enggan.
Kemudian orang-orang itu tidak merasa
cukup dengan itu saja, sampai mereka
meyakini bahwa yang mereka ajarkan
adalah ilmu yang paling utama dan paling
mulia untuk dipelajari dan menyangka
bahwa orang yang tidak memakai istilah-
istilah mereka adalah orang yang awam
lagi bodoh.
Maka orang yang berbahagia adalah orang
yang berpegang teguh dengan yang
dipegang oleh salaf sholih dan menjauhi
perkara yang diada-adakan kholaf (orang-
orang belakangan).”
Cukuplah ucapan beliau sebagai pelajaran
bagi orang yang menginginkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
8. Imam As-Suyuthi rahimahullah
(849-911) dalam Al-Amru Bil Ittiba’ Wan
Nahyu ‘An Al-Ibtida’ hal 8:
ﻓﻜﻴﻒ ﻟﻮ ﺭﺃﻭﺍ ﻣﺎ ﺃﺣﺪﺛﻮﺍ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺍﺕ
ﺍﻟﻘﺒﻴﺤﺔ. ﻓﺎﺣﺬﺭﻩ ﻳﺎ ﺃﺧﻲ، ﻭﺍﻗﺘﺪ ﺑﺎﻟﺴﻠﻒ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ .
“Maka bagaimana kalau mereka melihat
terhadap apa yang diada-adakan oleh
orang-orang pada masa ini, yang padanya
ada tambahan-tambahan yang jelek. Maka
berhati-hatilah saudaraku, dan teladanilah
salaf sholih.”

—————
Wallahu a’lam. bersama Abu Baqiy Al
Andalusia
Sumber: fatwasyafiiyah.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar