''Mendekatlah, kau akan mendapatkannya. Dan sesudah mereka, berbuatlah sekehendakmu,'' jawab Ibrahim. ''Mereka? Saya tidak paham mereka yang Syekh maksudkan.'' ''Yang pertama, jika kamu mau melawan Tuhan, janganlah makan rezekinya.'' ''Demi Tuhan, itu sangat sukar. Jika rezekinya semua di laut, di darat, di gunung, dari mana saya makan?'' ''Pantaskah makan rezeki-Nya dan melawan-Nya?'' ''Tidak.'' ''Kedua, jika kamu ingin melawan Allah, jangan bertempat tinggal di negeri-Nya.'' ''Demi Allah, itu lebih sukar dari yang pertama. Jika dunia ini kepunyaan-Nya, di mana saya tinggal?'' ''Pantaskah makan rezekinya, tinggal di negeri-Nya dan melawan-Nya?'' ''Tidak.'' ''Yang ketiga, jika hendak melawan Allah, lawanlah di tempat Ia tidak melihatmu.'' ''Demi Allah, ini yang tersulit. Bagaimana mungkin, sedang Ia tahu semua yang tidak terlihat dan yang disimpan di dalam dada.'' ''Pantaskan makan rezekinya, bertempat tinggal di negerinya dan melawannya? Sedang Ia melihat kamu?'' ''Tidak. Kalau begitu Syekh, beri saya yang keempat.'' ''Jika datang Malaikat Maut mengambil ruhmu, kamu akan berkata, ‘Akhirilah kematian saya sampai saya bertobat. Malaikat akan berkata, ‘Enak saja. Jika kamu tahu, mengapa tidak tobat dulu-dulu.'' Laki-laki itu belum puas dan karena itu masih meminta opsi kelima. ''Baik,'' kata Ibrahim. ''Jika datang Mungkar dan Nakir, maka tolaklah.'' ''Tidak ada kekuatan bagiku. Berilah Syekh, opsi yang lain.'' ''Jika kamu berada di tangan Allah Azza wa Jalla, sedangkan Allah memerintahkan memasukkanmu ke neraka, berkatalah kepada Tuhan: Jangan perintahkan mereka.'' ''Saya mohon ampun kepada Allah. Saya bertobat kepada-Nya.'' Cerita ini dikutip oleh Syekh Yusuf Al-Makassari dari kitab Zaadatul Musafirin (Perbekalan para Pengelana) dalam salah satu risalahnya, An-Nafhatus Sailaniah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar